Desa Bukan Jadi Sumber Masalah
Warta Desa – Desa semestinya bisa dilihat
sebagai potensi dan bukan sumber masalah untuk membangun negara. Kemiskinan,
kebodohan, kurang tertatanya pemerintahan desa, dan konflik sosial adalah
cermin kegagalan negara dalam memberdayakan masyarakat desa.

Panelis
adalah peneliti IRE Sutoro Eko Yunanto, dosen Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh Otto Syamsuddin Iskak, mantan Bupati Bantul Idham Samawi, Guru Besar
Otonomi Daerah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sadu Wasistiono, Guru
Besar Sosiologi Universitas Indonesia Robert MZ Lawang, anggota Komisi II DPR
Mestariyani Habie, dan Rooy John Salamony (Direktorat Jenderal Pemberdayaan
Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri). Hadir pula Bupati Bantaeng Sulawesi
Selatan Nurdin Abdullah.
Menurut
Idham, mewujudkan cita-cita negara Indonesia seperti tersurat dalam konstitusi
hanya bisa dilakukan dari desa. Melindungi segenap bangsa Indonesia,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum perlu dimulai
dari desa. Sekitar 60 persen warga Indonesia tinggal di desa. Sebagian besar
anak putus sekolah dan orang miskin di desa. Tetapi, tak berarti desa tidak
berdaya.
Idham
mencontohkan, angka anak dibawah lima tahun (balita) kurang gizi di Bantul
kurang dari 0,2 persen, jauh di atas rata-rata di Indonesia yang hampir 6
persen. Hal itu bisa terjadi karena identifikasi masalah dan kebutuhan yang
amat akurat oleh kepala desa. Pemerintah kabupaten tinggal menindaklanjutinya.
“Posisi desa begitu strategis, termasuk untuk mengidentifikasi masalah rakyat”,
tuturnya.
Sutoro
menambahkan banyak desa yang mampu menyediakan air bersih, mengembangkan
ketahanan pangan, dan mengembangkan hutan secara mandiri. Sebaliknya,
pemerintah melihat desa dengan sebelah mata. Desa hanya menjadi obyek yang
dibanjiri proyek. Kendati ada sedikit manfaat, kemandirian tidak terbangun.
Desa pun seperti ikan terdampar yang mati dalam gendongan kera. Pemerintah
niatnya menolong tetapi justru mematikan desa dan potensinya.
Sadu, Otto
dan Robert mengingatkan, RUU Desa semestinya mengakomodasi pluralisme desa.
Jika tidak, RUU itu tak ada gunanya. Untuk itu, lanjut Sadu ada desa yang bisa
menjadi desa administratif dengan otonomi tertentu, tetapi dapat tetap sebagai
desa adat. Ketika sudah siap, desa adat menjadi desa administratif.
Rooy John
dan Mestariyani mengatakan RUU Desa memang hanya membahas aspek pemerintahan.
Namun ada satu pasal yang mengakui ciri, adat, serta kultur desa. RUU Desa
diharapkan selesai dibahas tahun ini.
Di Solo Jawa
Tengah, perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Desa (Parade)
Nusantaara, Minggu setuju membentuk tim buat mengawalpembahasan RUU Desa
Sumber
:http://advokasidesa.com/kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar