GERBANG DESA



Desa Bukan Jadi Sumber Masalah
 Warta Desa Desa semestinya bisa dilihat sebagai potensi dan bukan sumber masalah untuk membangun negara. Kemiskinan, kebodohan, kurang tertatanya pemerintahan desa, dan konflik sosial adalah cermin kegagalan negara dalam memberdayakan masyarakat desa.

Harapan itu muncul pada diskusi menyambut Rancangan Undang-Undang Desa di Kantor Redaksi Kompas di Yogyakarta, Sabtu (5/5). Diskusi diadakan harian Kompas bersama Institute for Research and Empowerment (IRE), Forum Pengembangan Pembaruan Desa (FPPD), Yayasan TIFA dan The Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS).
Panelis adalah peneliti IRE Sutoro Eko Yunanto, dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Otto Syamsuddin Iskak, mantan Bupati Bantul Idham Samawi, Guru Besar Otonomi Daerah Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sadu Wasistiono, Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia Robert MZ Lawang, anggota Komisi II DPR Mestariyani Habie, dan Rooy John Salamony (Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Dalam Negeri). Hadir pula Bupati Bantaeng Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.
Menurut Idham, mewujudkan cita-cita negara Indonesia seperti tersurat dalam konstitusi hanya bisa dilakukan dari desa. Melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum perlu dimulai dari desa. Sekitar 60 persen warga Indonesia tinggal di desa. Sebagian besar anak putus sekolah dan orang miskin di desa. Tetapi, tak berarti desa tidak berdaya.
Idham mencontohkan, angka anak dibawah lima tahun (balita) kurang gizi di Bantul kurang dari 0,2 persen, jauh di atas rata-rata di Indonesia yang hampir 6 persen. Hal itu bisa terjadi karena identifikasi masalah dan kebutuhan yang amat akurat oleh kepala desa. Pemerintah kabupaten tinggal menindaklanjutinya. “Posisi desa begitu strategis, termasuk untuk mengidentifikasi masalah rakyat”, tuturnya.
Sutoro menambahkan banyak desa yang mampu menyediakan air bersih, mengembangkan ketahanan pangan, dan mengembangkan hutan secara mandiri. Sebaliknya, pemerintah melihat desa dengan sebelah mata. Desa hanya menjadi obyek yang dibanjiri proyek. Kendati ada sedikit manfaat, kemandirian tidak terbangun. Desa pun seperti ikan terdampar yang mati dalam gendongan kera. Pemerintah niatnya menolong tetapi justru mematikan desa dan potensinya.
Sadu, Otto dan Robert mengingatkan, RUU Desa semestinya mengakomodasi pluralisme desa. Jika tidak, RUU itu tak ada gunanya. Untuk itu, lanjut Sadu ada desa yang bisa menjadi desa administratif dengan otonomi tertentu, tetapi dapat tetap sebagai desa adat. Ketika sudah siap, desa adat menjadi desa administratif.
Rooy John dan Mestariyani mengatakan RUU Desa memang hanya membahas aspek pemerintahan. Namun ada satu pasal yang mengakui ciri, adat, serta kultur desa. RUU Desa diharapkan selesai dibahas tahun ini.
Di Solo Jawa Tengah, perangkat desa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantaara, Minggu setuju membentuk tim buat mengawalpembahasan RUU Desa

Sumber  :http://advokasidesa.com/kompas
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar